coretan tinta

Rabu, 10 November 2010

filsafat gerakan sosial


MANIFESTASI GERAKAN SOSIAL
Filsafat dan Sosiologi  Perubahan Sosial
Rethiking Gerakan Perubahan sosial[1]
Sudah lama dirasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoretis dari kalangan akademis yang membicarakan teori perubahan social maupun paradigma pembangunan dan dunia para praktisi perubahan sosialuntuk keadilan social (social justice) yang bekerja di dalam berbagai aksi maupun proyek perubahan social bersama kelompok-kelompok marginal seperti kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskindi pedesaan, maupun anak jalanan serta masyarakat di berbagai daerah.
Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani dialog antara praktik perubahan social di akar rumput, maka suatu refleksi kritis ini di sitemtisasikan dan dinarasikan sebagai  bahan yang menfasilitasiterjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran kritispada teoritisi maupun praktisi lapangan. Sebagai suatu refleksi, tulisan ini tidak berprestai menjadi acuan teoretik mengenai teori perubahan social.
Tulisan ini ditulis didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik ideologi terhadap proses dan teori perubahan social, bukan dari hasil studi akdemik dari kalangan universitas, melainkan lebih banyak refleksi dari kalangan aksi yang panjang dari bahan bacaan yang diperoleh secara tiddak sistematik maupun hasil redleksi dari berbagai program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun demikian , tulisan ini memang tidak di maksud untuk memberikan uraian teoritik tentang teori perubahan social dan pembangunan akan tetapi, lebih di dasarkan pada reflesi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis pergerakan social.
Meskipun demikian, tulisan ini memang tidak dimaksud untukmemberikan uraian teoretik tentang teori perubahan sosial dan pembangunan.akan tetapi, lebih didasarkan pada refleksi terhadap penglaman dan penulis serta aktivis pergerakan social di Indonesia, untuk merrefleksikan kaitan teori-teori perubahan social dan praktik lapangan program-program pemberdayaan masyarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderunga ketimpangan dalam dunia teori social dalam pengertian semakin kuat monopoli informasi dan pengalaman oleh kalangan akademis elitis, yakni lingkungan dan mereka yang mempunyai kesempatan luas untuk membaca, membahas, dan mendiskusikan paradigma dan berbagai teori pembangunan di dalam aktivis social dan organisasi social kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat, yakni aktivis social dan organisasi universitas, sementara mereka yang bekerja di masyarakat, yakni
aktivis sosial dan organisasi sosial kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat
untuk melakukan aksi sosial, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari
berbagai teori tersebut di universitas. Dengan demikian, tulisan ini ditulis dengan
keinginan ganda. Selain menyediakan bahan bacaan untuk khalayak umum dan
aktivis lapangan tentang paradigma dan teori pembangunan, juga didorong oleh
suatu semangat untuk merobohkan anggapan bahwa urusan ideologi,
paradigma, dan teori perubahan sosial hanya patut dan khusus dibaca, dipahami,
dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi, dan tabu untuk dibaca oleh
kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, tulisan ini melakukan demistifikasi
terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani jarak antara para aktivis
lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial di univeritas.
Selain itu, semangat penulisan tulisan ini juga didorong oleh adanya
gejala timbulnya kerancuan teoretik dan paradigmatik dari banyak aktivis
lapangan. Yang dimaksudkan dengan kerancuan teoretik ini adalah persoalan
yang dihadapi oleh mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di
lapangan, yakni para pekerja sosial masyarakat, baik kalangan aktivis lapangan
ornop maupun tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar
teoretik dan visi ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi
landasan dan aktivitas praktis sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori
yang sedang dipraktikkannya tersebut secara teoretik bertolak belakang dengan
tujuan yang mereka cita-citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya
pemahaman mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang
mereka jadikan pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani
masalah-masalah kemasyarakatan semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi
dan teori mengenai perubahan sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang
diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi sosial menempatkan
masyarakat sebagai obyek, padahal sementara itu bercita-cita melakukan
pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dalam merencanakan, menyusun,
dan menetapkan program pengembangan masyarakat, maupun dalam
mengevaluasi kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak mencerminkan antipemberdayaan
masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja telah
melahirkan inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi juga
telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan
sosial, yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah
utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender, serta aspek
sosial lainnya.                               
Gejala kerancuan teoretik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis
sosial di lapangan mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang
teori 'mainstream' perubahan sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian,
sesungguhnya di kalangan aktivis sosial telah timbul kesadaran akan perlunya
secara kritis mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta implikasinya
terhadap metodologi dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis sosial
untuk memahami berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam
pendidikan politik dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan
tulisan teori perubahan sosial ini.
Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan tulisan
ini didorong untuk memenuhi kebutuhan bacaan teoretis dan memfasilitasi
perdebatan teoretik bagi mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum tulisan
ini merupakan pengkajian teoretis dan mendasar, membahas kerangka ideologi,
paradigma, dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan mampu
memacu pembaca untuk merefleksikan kegiatan lapangan mereka dengan
berbagai ideologi dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu tulisan ini juga
merupakan refleksi kritik terhadap posisi teoretik berbagai teori yang dominan
tentang perubahan sosial dan pembangunan. Kritik ini diharapkan akan
memberikan bekal teoretik bagi pembaca, khususnya yang terlibat dalam proses
perubahan sosial dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan
sosial. Terakhir, secara khusus tulisan ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk
mendorong mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori perubahan
sosial sebagai bagian dari aktivitas lapangan sehari-hari.

Sebuah Refleksi Teoretik bagi Aktivis Sosial
Maksud terutama penyusunan tulisan ini adalah dalam rangka
memfasilitasi para praktisi untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama
ini mereka lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
seorang aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan
"social justice", politik dan ekonomi yang demokratis, serta pengembangan
masyarakat menuju masyarakat adil sejahtera sangat membutuhkan teori
sebagai acuan, refleksi, maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada
dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga
memungkinkan lahimya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas
sosial. Akan tetapi, teori sosial juga bertugas untuk "mengubah realitas sosial"
yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang
masalah tersebut masih diperdebatkan. Tanpa disadari setiap pekerja dan aktivis
sosial seperti guru, akivis sosial, wartawan, dan pemimpin agama terlibat dalam
pertarungan teoretis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori
dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki
dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu
sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga
mengubahnya.
Berbagai teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya lahir tidak saja dalam
rangka pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga
berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasamya perubahan sosial
dibangun di atas pemahaman teoretik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam
membentuk suatu program aksi di lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang
sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang
dan akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya
saja dalam melihat hubungan 'buruh-majikan' satu teori melihatnya sebagai
hubungan yang 'saling menguntungkan', tetapi teori lain justru menganggapnya
sebagai hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoretik ini, bagaimana suatu
perubahan hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan.
"Rekayasa sosial" yang oleh satu teori dianggap sebagai keharusan pendekatan,
tetapi oleh teori lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan
'penindasan' dari ilmuwan sosial terhadap masyarakat. Perbedaan asumsi
tersebut tidak saja mempengaruhi berbagai metode penelitian dan pendidikan
sosial, tetapi juga membawa perbedaan visi dan orientasi hubungan antara
ilmuwan sosial dan masyarakat dalam proses perubahan sosial. Dengan
demikian, teori sosial membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk
menyadari apa yang mereka lakukan serta kemana dan model apa suatu
perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan teori ilmu sosial, dalam
menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat, seorang aktivis tidak saja
bekerja tanpa visi dan orientasi, tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang
sesungguhnya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan
selalu dihadapkan pada pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan;
antara pertumbuhan dan keadilan; antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara
tirani dan demokrasi, dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sangat membantu
memahami relasi sosial secara kritis.
Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial
yang kontradiktif yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori
sosial yang digolongkan pada "teori sosial regulasi" berhadapan dengan teoriteori
sosial emansipatori atau juga yang dikenal dengan kritis.
Teori sosialregulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabdi pada stabilitas,
pertumbuhan, dan pembangunan, bersifat objektif serta secara politik netral dan
bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh teorisi sedangkan
masyarakat dilihat hanya sebagai obyek pembangunan mereka. Pandangan teori
sosial ini berhasil memunculkan kaidah 'rekayasa sosial' yang menempatkan
masyarakat sebagai obyek para ahli, direncanakan, diarahkan, dan dibina untuk
berpartisipasi menurut selera yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan
birokrasinya: di mana teoretisi memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan
praktisi dan masyarakat. Dalam hubungan ini aktivis sosial lapangan dan
masyarakat hanya diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis
dan teoretis secara kritis.
Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan
penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial 'dehumanisasi'
yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagaj upaya
counter hegemoni. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara melalui mekanisme
kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara
penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya,
kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali.
Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan
yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian
besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berpikir,
ideologi, kebudayaan, bahkan 'selera' golongan yang mendominasi telah
dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang di dominasi. Dengan begitu
kegiatan sosial bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah
berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan politik
menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu
sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif, serta berjarak atau
detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan tersendiri, atau paling tidak
ikut melanggengkan ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas dan netralitas
ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak
mungkin pernah netral. Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak
dan penuh atau sarat dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi
golongan tertentu. Teori ilmu-ilmu sosial, termasuk juga paham kebudayaan dan
pandangan keagamaan dalam paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi
demi kepentingan tertentu. Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori
sosial harus mengabdi. Itulah makanya, dalam pandangan ini, teori sosial dan
praktik pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat
berada pada suatu sistem dan struktur sosial yang tidak adil dan dalam proses
'dehumanisasi', ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral
karena ikut melanggengkan ketidakadilan.
Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah
objektivitas, hakikat, dan tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial
harus netral, tidak memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu
seperti golongan lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial
tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan tertindas,
tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses
pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas,
terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi
pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru
dan lebih baik. Dengan kata lain, dalam prespektif teori sosial kritis, ilmu sosial
tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi
belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan
kesadaran, baik bagi golongan menindas dan yang tertindas untuk menyadari
bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial
harus membangkitkan kesadaran kritis. baik bagi yang mendominasi maupun
yang didominasi, untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur)
dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem
masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, dan tanpa
kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali
manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun
yang ditindas.
Teori Perubahan Sosial dan Teori Pembangunan: Suatu Penjelasan
Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda
netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan
proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur
masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu,
'pembangunan' disejajarkan dengan kata "perubahan sosial". Bagi penganut
pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga
membutuhkan keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme,
pembangunan model sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia, dan
seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori pembangunan berarti teori sosial
ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang
menguasai hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.
Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas
yang berangkat dari asumsi bahwa kata 'pembangunan' itu sendiri adalah
sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu
ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam pandangan yang
disebut terakhir ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat
netral, melainkan suatu "aliran" dan keyakinan ideologis dan teoretis serta praktik
mengenai perubahan sosial. Dengan demikian, dalam pengertian yang kedua ini
pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran
dari suatu teori perubahan sosial. Bersamaan dengan teori pembangunan
terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya seperti sosialisme, dependensia,
ataupun teori lain. Oleh karena itulah banyak orang menamakan teori
pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism). Dengan
demikian pengertian seperi ini menolak teori-teori, seperti teori pembangunan
berbasis rakyat, atau teori integrated rural development, atau bahkan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan merupakan alternatif
dari pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi
pembangunanisme.
Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya lebih memfokuskan
pembahasan mengenai seluk-beluk paradigma dan teori perubahan sosial, yakni
teori tentang bagaimana suatu masyarakat berubah serta dinamika dan proses
sekitar perubahan tersebut. Dengan demikian, teori dan kritik terhadap pembangunan
yang banyak dibahas dalam tulisan ini nanti, dalam hubungan ini
dipahami dan diletakkan sebagai salah satu ideologi dan teori serta salah satu
bentuk dari teori perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu dari teori
perubahan sosial yang akan dibahas adalah teori pembangunan. Sebagai salah
9
satu dari berbagai teori perubahan sosial, teori pembangunan, dewasa ini telah
menjadi mainstream dan teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial.
Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang
luar biasa, karena sebuah gagasan dan teori begitu mendominasi dan
mempengaruhi pikiran umat manusia secara global, terutama di bagian dunia
yang disebut sebagai "dunia ketiga". Gagasan dan teori pembangunan, bagi
banyak orang bahkan mirip 'agama baru' yakni menjanjikan harapan baru untuk
memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjutajuta
rakyat di dunia ketiga.
Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar
dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir
semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan setelah diterjemahkannya ke
dalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di
masing-masing negara. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, kata ini
disamakan dengan kata dessarollo. Bahkan, di negara yang belum memiliki
bahasa nasional seperti Filipina, misalnya, kata yang digunakan untuk melokalkan
'development' adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni pangunlad
untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah Pag-uswag,
dan dalam bahasa Ilocano menjadi progreso. Di Indonesia, kata development
diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat
kaitannya dengan munculnya pemerintahan orde baru. Selain sebagai semboyan
mereka, kata 'pembangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru,
hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan orde baru selalu
dikaitkan dengan kata 'pembangunan', meskipun kata 'pembangunan'
sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata
pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan
discourse-development yang dikembangkan oleh negara negara Barat. Uraian
berikut mencoba melakukan penyelidikan secara kritis terhadap discourse
development, yang menjadi sumber dari diskursus 'pembangunan' di Indonesia.
Oleh karena itu, perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi
bahasa, tetapi mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan discourse
development, dan bagaimana development disebar-serapkan ke dunia ketiga,
serta hubungannya dengan diskursus 'pembangunan' di Indonesia sejak
pemerintahan militer orde baru, yakni suatu pemerintahan militer selama 32
tahun, yakni sejak militer Indonesia mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno
tahun 1967 hingga kejatuhan rezim militer ini oleh suatu revolusi sosial tahun
1998.
Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengertian dasarnya,
pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam
konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu.
Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata
pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan
modernisasi. Dari kata-kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang
memberi makna perubahan ke arah lebih positif. Oleh karena makna
pembangunan bergantung pada konteks siapa yang menggunakannya dan untuk
kepentingan apa, uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari
konteks sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan.
10
Pertanyaan dasarnya adalah apakah konsep "pembangunan" itu adalah
suatu kategori tersendiri, atau jenis dari suatu yeng lebih besar. Dalam tulisan ini
penulis meletakkan pembangunan sebagai suatu teori dibawah payung teori
perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu bahasan dalam ilmu-ilmu sosial
adalah masalah perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan
perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi sosialistik dan
kapitalistik, dan dimensi-dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial
tersebut adalah teori pembangunan. Lambat-laun, pembangunan sebagai teori
berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu
paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan pembangunan
oleh para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan
sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dinamakan
kabinet selama kekuasaan orde baru dibawah presiden Suharto





[1] Sebuah pengantar diadaptasi dan diulas kembali dari, Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori
Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 1-16.

Selasa, 09 November 2010

PENGABDIAN

Budaya ketimuran sangat akrab dan menjunjung tinggi budaya pengabdian. Pengabdian seseorang diaplikasikan dalam berbagai ragam bentuk dan jenisnya. Yang paling kentara adalah pengabdian antara budak dan majikan yang menjadi ciri khas “profesionalisme” ketimuran. Seseorang yang taat dan patuh pada majikan akan dianggap pekerja yang baik dan akan mendapatkan penghargaan lisan sebagai “pekerja yang baik”. Setidaknya begitulah konsep yang dipercaya orang Indonesia khususnya di budaya Jawa. 
Budaya pengabdian dianggap sebagai budaya yang kurang menghargai profesionalisme.Nampaknya eksistensi budaya mengabdi ini yang telah mengkristal dalam diri orang timur dan hal ini membuat orang barat “gusar”.Pengenalan akan konsep HAM dan budaya kerja professional adalah budaya tandingan yang disusupkan di budaya timur oleh barat dengan berbagai mediasi yang sangat teratur dan intelek. Pengadopsian konsep HAM dan Profesionalisme adalah wajar tapi pengadopsiannya harus berjalan sinergis dengan kondisi lingkungan bermasyarakat agar bisa mendapatkan tempat dan apresiasi oleh lingkungan sekitar.
Secara pribadi saya berpendapat bahwa ada dua aspek penting dari konsep pengabdian yaitu pelaksanaan dari apa yang diamanahkan (implementasi fisik) dan pensugestian diri bahwa apa yang kita lakukan adalah berguna buat orang lain dan diri kita sendiri (implementasi psikis). Yang pertama akan mengalami kebosanan tanpa dilengkapi oleh aspek yang kedua.Begitupun juga tidak akan mungkin bisa terlaksana implementasi psikis tanpa ada implementasi fisik. Bagaimana mungkin kita bisa percaya sesuatu baik apabila kita belum melaksanakannya. Dalam konsep ibadah implementasi fisik adalah aktifitas gerak yang kita lakukan dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan dan implementasi psikisnya adalah perasaan tenang dalam melakukan aktivitas tersebut. Aspek kedualah yang menjaga stabilitas kehidupan beragama ditengah hantaman budaya global yang katanya menjadi identitas masyarakat dunia.
mungkin kurang ilmiyah, tulisan ini hanya sebagai draft tulisan yang belum selesai jadi segala kesalahan penulisan atau tata bahasa harap dimaklumi.

 

Minggu, 07 November 2010

tareqat


 sebagian pendapat dari al-mukaram rama kyai haji achmad chalwani nawawi
Tarekat adalah metode pendekatan diri kepada Allah. Secara Etimologi Tarekat adalah cara atau metode atau metode pendekatan diri kepada Allah. Jika metode pendekatanya menurut Syech Ali Abu Hasan as Saadzily, maka dinamakan tharikat Syadziliyyah. Apabila metode pendekatanya Syech Abdul Qadir al-Jailani, maka dinamakan tharikqat qadiriyyah, jadi nama thariqat tersebut diambil dari muassis/ pendirinya, pembuat metodenya.
Thariqat di berjan sudah ada sejak KH. Zarkasyi yang kemudian dilanjutkan putra beliau, syekh Siddiq lalu dilanjutkan putranya lagi, KH. Nawawi dan sekarang dilanjutkan oleh putra KH. Nawawi, KH. Achmad Chalwani Nawawi. Jadi, thariqat di Berjan sudah mengalami empat periode estafet kepemimpinan.
Syeh Zarkasyi mendapatkan rekomendasi (izin menjadi mursyid) dari syeh abdul karim Banten, tepatnya di kampung Tanara. Syeh Abdul Karim Banten merupakan murid dari Syech Achmad Khatib Bin Abdul Ghafar Sambas Kalimantan (pembawa thariqat di Indonesia) .
Adanya thariqah ini sudah ada sejak adanya islam itu sendiri. Pada zaman nabi thariqat sudah ada amaliahnya, namun istilahnya belum menjadi nama. Sedangkan Nama thariqat muncul sekitar 500 tahun sepeninggal nabi. Jadi thariqat bukanlah buatan ulama atau kyai-kyai karena itu sudah ada sejak zaman nabi.
Dalam kitab Ta’limul Muta’alim ada sebuat hadits yang mengatakan “al-sanadu mina ad-Diin” yang artinya, sanad merupakan bagian dari agama. Dalam islam, orang punya ilmu dituntut punya sanad yang sampai pada rasulullah. Jadi kalau thariqat tidak ada sanadnya/ tidak sampai kepada rasulullah, itu tidak bisa dinamakan thariqat.
Dalam islam Thariqat banyak, ada 49 Tharikat. Di Indonesia, kebanyakan menganut thariqat Qadiriyyah, Syadziliyyah, Naqsyabandiyyah, Tijaniyyah, Alawiyyah, Tsamaniyyah dan sebagainya. Kalau di Berjan ini merupakan kombinasi Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah. Thariqat Qadiriyyah-Naqsyabandiyyah di Indonesia ini, di dalam bukunya Dr. Zamaksyari Dhofier pusatnya ada 3 (tiga).
Pertama, Suryalaya Tasyikmalaya yang sekarang dipimpin oleh Abah Anom. Kedua, Mranggen Semarang, yang sekarang dipimpin Syech Ibrahim Brumbung. Sedangkan ketiga di Peterongan, Jombang sekarang dipimpin oleh Syech Musta’in. Ketiga Pusat Thariqat Indonesia ini silsilahnya bertemu.
Secara organisatoris, Thariqat di Indonesia ada perkumpulanya, diantaranya Jamiyyah Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah, yaitu perkumpuan Thariqah di bawah Nahdlatul Ulama.
Pada masa KH. Zarkasyi, generasi Thariqat pertama di Berjan, beliau punya beberapa murid yang sangat terkenal yaitu Syech Umar Payaman Magelang, yang menyebarkan tharikat di daerah Magelang, Temanggung sampai Salatiga.
Kedua syech mudzkir, kauman Magelang yang masih saudara KH. Dalhar Magelang. Ketiga Syech Siraj yang sekarang di Malaisia .
Pada periode kedua, KH. Shiddiq juga punya murid banyak, diantaranya Syech Haramain Jember Jatim.
Pada periode ke-tiga, KH. Nawawi juga punya banyak murid, Thariqah berkembang pesat terutama di Jambi yang dibawa oleh murid beliau Syech Ali bin Abdul Wahhab Kuala Tungkal Tanjungjabungbarat Jambi, yang sekarang mempunyai sekitar 500-an ribuan murid, bahkan muridnya dari Malaysia dan Singapura.
SESI TANYA JAWAB
(Sdr.Subhan)Siapa saja anggota thariqat qadiriyyah?
(Jawaban)Dari kalangan Petani, Dosen, petani dan lain-lain. Namun kebanyakan dari kalangan menengah kebawah. Santri dan alumni disini tidak diwajibkan masuk tharekat. Bahkan ada yang mau masuk, tapi
(pertanyaan)Ritual dan jadwal?
(jawaban)Tharekat menekankan tiga hal: istigfar, shalawat, dzikir. Thariqat apa saja seperti ini, kalaupun ada tambahan-tambahan sedikit dari mursyid, tapi pada intinya tida poin tersebut.
Pertama, istigfar. Berangkat dari ayat al-Quran “istagfiru rabbakum, innahu kaana ghaffaraa” kemuadian allah menjawab sendiri “yursilissamaa alaikum midrarara”(orang yang banyak istigfar akan dikasih murah hujan oleh Allah), “layudrikum amwalin”(akandijaga hartanya, termasuk asetnya), “wa baniinin”(dijaga keturunanya), “yaj al lakum anhaara” (dimudahkan mengalirnya air-air sungai)
Kedua, Shalawat. Shalawat besar sekali manfaatnya. Diantaranya di salam Syarah Dalailul Khairat: mathoitul masyarraq, disitu ada 52 manfaat orang baca shalawat.
Ketiga,Dzikir. Dzikir banyak selaki manfaatnta. Untuk orang awam, tidak perlu banyak berdoa yang penting dzikir secara rutin. Dalam hadits qudsi Allah berfirman yang artinya: “barangsiapa yg sibuk ingat kepadaku sampai tdk minta apa-apa kepadaku, maka aku kasih apa-apa sebelum dia minta apa-apa.
Thariqat tidak bisa disampaiakan secara detail, karena sifat thariqat tertutup. Jika ingin tahu lebih mendalam, harus ikhlason muklison baiat masuk thariqah.
Mursyid di angkat mursyid lain dengan pertimbangan kemampuan ilmu dll. Syarat mursyid menurut syech abdul qadir, ada tiga yaitu ilmal ulama(memiliki ilmu ulama), siyasatal ulum(politik pemerintahan), hikmatal hukama’(ilmunya ahli hikmah)
*disampaikan ketika audiaensi dalam rangka penelitian mahasiswa UI Jakarta tentanng thariqat di Aula PP An-Nawawi Berjan, 08 Juni 2008. tulisan ini disarikan oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun dari file wav hasil rekaman acara tersebut.